Minggu, 15 Januari 2012

Gereja St. Maria: Bunda Maria di Atas Perahu - Galang Site II


BAGI kebanyakan orang, Pulau Galang tak bermakna istimewa. Jangankan mengetahui letaknya secara pasti, mendengar nama pulau itu pun mungkin belum pernah.Galang memang tak begitu dikenal sungguhpun oleh orang Indonesia sendiri. Namun bagi para pengungsi yang pernah menjejakkan kaki di sana, pulau itu bisa berarti segala-galanya. 
Tak banyak yang diketahui orang tentang Galang sebelum pulau ini dibuka sebagai kamp pengungsian. Hanya ada beberapa keluarga nelayan yang tinggal di dekat tempat yang kemudian menjadi dermaga, hingga pada 1979, ketika pulau itu resmi difungsikan sebagai tempat untuk pemrosesan pemukiman kembali pengungsi (resettlement).

Sekitar tahun tujuh puluhan, di Vietnam terjadi perang saudara. Rakyat yang sejatinya sebangsa dan setanah air itu menjadi korban. Kala itu muncul fenomena “boat people” atau manusia perahu.  Dengan perahu sederhana mereka melarikan diri dari negaranya. Dengan alat transportasi laut sederhana mereka  mengarungi samudra untuk mencari tempat yang aman dan damai.  Salah satu tempat yang disinggahi adalah Pulau Galang, Kepulauan Riau, Indonesia. Sehubungan dengan fenomena manusia perahu ini, pada tahun 1978, Pemerintah Indonesia membuat keputusan hanya akan menolong para pengungsi tapi tak akan menerima satu pun di antaranya untuk dimukimkan secara tetap di Indonesia.

Hanya dalam tempo kira-kira empat tahun sejak dibuka pada 17 Juli 1979, Galang telah menerima puluhan ribu pengungsi Vietnam dan tak kurang dari 3.000 pengungsi Kamboja. Tak kurang dari  250.000 pengungsi menetap di sana.  Sejak itu pulalah, Galang berubah dan berkembang menjadi semacam kota, lengkap dengan pasar, rumah makan, gedung bioskop, rumah-rumah ibadah, seperti gereja Katolik, gereja Protestan, vihara Budha, dan barak yang difungsikan sebagai masjid bagi pengungsi yang beragama Islam.

Pada tahun 1989 digelar suatu konferensi internasional di Jenewa. Peserta kemudian menyetujui program yang dirancang untuk mencegah gelombang manusia perahu. Mereka yang tiba selepas "batas akhir" harus menjalani skrining untuk menentukan apakah berhak mendapatkan status "pengungsi". Bila tidak, akan dikembalikan ke negara asal. Kebijakan itu juga ikut mengubah sikap Galang. Di pulau itu pun kemudian diberlakukan skrining. Akibat takut tak lolos skrining dan khawatir dikembalikan ke negaranya, banyak pengungsi akhirnya nekat bunuh diri dan memilih "dimukimkan selamanya" di Galang.

Pulau yang berada 50 km dari Pulau Batam ini menjadi saksi bagaimana perang telah membuat banyak orang tak bersalah menjadi korban.  Saksi bisu yang sekarang ramai dikunjungi sebagi tempat ziarah adalah Gereja St. Maria.  Meski hampir seluruh bangunan gereja itu berbahan kayu, dan sepertinya terlihat sudah sangat tua, namun masih berdiri tegak di tengah sunyi sepinya Pulau Galang.  Di atas bangunan tersebut tampak sebuah salib kayu yang menjulang tinggi, sebagai bentuk penghormatan tertinggi pada kebesaran dan pengorbanan Tuhan. Di bawah salib tadi tampak gambar Bunda Maria, yang diukir dengan nuansa estetika. Patung Bunda Maria.  Di bagian depan gereja, para pengungsi juga membangun sejumlah patung, di antaranya patung Bunda Maria yang menggendong seorang anak dan berada di atas perahu serta seorang bapak merangkul kedua anak. 

Patung Ibunda Yesus ini dibuat, selain karena kecintaan mereka pada Bunda Suci itu, juga karena sebagian dari pengungsi Vietnam tadi sempat menyaksikan penampakan Bunda Maria.  Karena itu mereka percaya bahwa penampakan Bunda Maria ini sangat menggembirakan para pengungsi di pulau itu. Mereka percaya Bunda Maria telah menyertai mereka dalam perjalanan mereka menuju tanah pengungsian ini. Peresmian lokasi ini sebagai tempat ziarah dan devosi pada Bunda Maria dilakukan tanggal 30 September 1994.

Referensi:

INFORMASI
Alamat/lokasi: Pulau Galang, Paroki St. Petrus, Lubuk Baja - Jl. Anggrek Blok II Lubuk Baja, Batam.
Kontak/telepon: (0778) 457755 / 451170